Undang-Undang UU Perkoperasian
telah lama menjadi pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pada tanggal 18 Oktober lalu telah disahkan dalam rapat paripurna,
bahwa kelahiran UU terbaru menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, yang pada dasarnya sudah tidak memadai untuk digunakan
sebagai instrument pembangunan koperasi.
Namun,
realitanya kelahiran UU Koperasi baru ini disambut dengan pro
kontra, karena khawatir akan membahayakan perkembangan koperasi di
Indonesia, kuatnya fungsi pengawasan dan hilangnya istilah
pengelola. Tidak hanya itu, pada UU baru juga menghilangkan istilah
simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela, dengan
memunculkan istilah setoran pokok dan sertifikat modal koperasi
pada saat pendirian.
Kepala
Dinas Koperasi Provinsi Kalbar Ignasius IK, mengatakan seharusnya
di dalam UU baru ini tidak perlu menghapus istilah-istilah tersebut,
karena pada hakekatnya sama. “Simpanan wajib ini akan menjadi
keterikatan anggota, dari sana kita bisa melihat loyalitas anggota
terhadap koperasi. Hal ini akan berdampak ke depan,” kata Ignasius,
dalam kegiatan diskusi kritis menyambut pengesahan Undang-Undang
Koperasi Baru di Kantor DPD RI Perwakilan Kalbar, Senin, (12/11)
kemarin. Menurutnya, ketentuan ini akan menjadi buah simalakama, karena
UU koperasi lama belum mampu menopang koperasi serta mendukung
optimal kinerja, sedangkan di ketentuan baru terdapat
kelemahan-kelemahan, terutama dalam pasal tertentu yang berpihak pada
koperasi, namun karena tidak diperkuat dengan kedua peraturan
tersebut pada akhirnya implementasi menjadi sulit. “Kita meminta
pemerintah segera menindaklanjuti kehadiran Undang-Undang
Perkoperasian terbaru dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah,
waktu masih diberikan 2 tahun lagi, kita ingin pendapat dan
aspirasi dari daerah dapat disampaikan kepada pemerintah pusat.
Jangan sampai kehadirannya sama dengan Undang-undang Koperasi Nomor 25
Tahun 1992,” ujarnya.
Kehadiran
UU Koperasi Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi ini, Ketua Umum
Puskopdit Borneo Andi Aziz mengungkapkan kekecewaannya dengan
keputusan yang dibuat Pemerintah Pusat. Karena dampaknya, UU ini
juga akan mengatur pada perubahan nama, hak dan wewenang koperasi.
“Masih banyak kelemahannya, dan sangat disesalkan tidak ada perubahan
dari rancangan yang dibuat, dan usulan-usulan yang diberikan terutama
koperasi di daerah Kalbar tidak diakomodir, perlu ada masukan kembali
khususnya koperasi di Kalbar,” pintanya, saat diwawancara Borneo
Tribune, usai diskusi kemarin. Menurutnya, jika aturan ini
diberlakukan maka akan ada beberapa hal yang berkaitan dengan
kredibilitas kepengurusan di koperasi mengalami perubahan, sehingga
dampaknya sangat pesat. Maka, ia meminta melalui pemerintah daerah
untuk menampung dan memberi masukan melalui peraturan pemerintah,
yang diberi jangka waktu dua tahun mendatang. “Harapan kami ada
perubahan dari usulan yang dimasukkan ke PP (peraturan pemerintah,
red),” pinta Andi. Anggota Senat DPD RI Daerah Pemilihan
Kalbar Erma Suryani Ranik, SH
mengungkapkan sebanyak 30 persen warga Kalbar akan terpengaruh dengan adanya UU Perkoperasian baru ini.
Dikatakannya,
ia sebagai warga Kalbar dan anggota dari Credit Union (CU)
menginginkan mampu memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat
terkait pengaturan credit union. “Saya akan marah jika CU di Kalbar
terpaksa dihapus atau ditutup, tidak mungkin nama CU berubah menjadi
koperasi simpan pinjam,” kata Erma. Ia mengaku, Kalbar sebagai basis
pengembangan credit union telah mampu menjadi penggerak ekonomi rakyat
pedesaan. Namun, ia sangat menyayangkan tindakan pemerintah pusat
yang tidak mampu mengakomodir rekomendasi dan pandangan dari DPD
RI untuk ditindaklanjuti sebagai masukan. “Pemerintah pusat
cenderung sentralistik dan tidak melibatkan pemerintah daerah,
ditambah lagi fungsi legislasi yang tidak maksimal oleh konstitusi
sehingga banyak pandanga dan pendapat DPD RI tidak diakomodir DPR
RI,” ungkap Erma. Ia mengatakan, ada beberapa hal pendapat dan
rekomendasi yang disampaikan melalui keputusan DPD RI Nomor 56/DPD
RI/IV/2010-2011 tentang pandangan dan pendapat DPD RI atas
rancangan UU tentang koperasi tidak menjadi gambaran terhadap UU
Perkoperasian baru, UU Nomor 17 Tahun 2012 ini hanya mampu menjawab
persoalan koperasi yang ada di Pulau Jawa saja. “Maka kami ingin
melakukan pemetaan kritis terhadap persoalan UU Koperasi baru, karena
terbitnya UU baru ini akan berdampak pada CU ke depan, kita berharap
CU proaktif terhadap UU baru ini, karena masih ada celah untuk saran
dan masukan,” harap Erma.
Sumber: http://borneotribune.com