Tampaknya perdebatan dan sikap sinis sebagian orang terhadap paham
Ekonomi Kerakyatan, tidak didukung oleh pemahaman yang memadai tentang
Ekonomi Kerakyatan itu sendiri. Sebaliknya, dukungan terhadap pihak lain
yang mendukung Ekonomi Kapitalis / Liberal juga tidak ditunjang oleh
pemahaman yang memadai. Kalau dibiarkan, perdebatan seperti ini ibarat
memperebutkan pepesan kosong, di mana kedua belah pihak tidak tahu
sebenarnya apa isi dari pepesan yang diperebutkan tsb.
Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Kerakyatan mencakup pengertian yang
sangat luas, yang untuk menjelaskannya secara lengkap, harus disusun
dalam suatu text book yang mungkin tidak akan kurang dari 1.000 halaman.
Selain itu pihak yang ingin memahami Ekonomi Kapitalis maupum Ekonomi
Kerakyatan, seyogyanya perlu dilandasi oleh pengetahuan dasar tentang
Ilmu Ekonomi (Economics Science), khususnya Ekonomi Makro (macro
economics) dan Ekonomi Pembangunan (economics development) , karena
pembahasan keduanya akan berputar seputar kedua macam ilmu ekonomi tsb.
Ekonomi Kapitalis maupum Ekonomi Kerakyatan adalah sistem ekonomi
yang lajim dipergunakan untuk mengatur perekonomian suatu negara. Secara
umum tujuan keduanya relatif sama, yaitu untuk meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan masyarakat, atau istilah politisnya untuk mencapai
Sosialisme. Perbedaannya adalah dalam cara dan proses untuk mencapai
tingkat kemakmuran tsb, di mana secara prinsip, keduanya satu sama lain
saling bertentangan.
Walaupun dalam prosesnya sistem yang satu mengandalkan orang kaya dan
sistem yang lain mengutamakan orang miskin, tetapi bukan jaminan bahwa
orang kaya dan pengusaha mustahil mendukung sistem Ekonomi Kerakyatan,
atau sebaliknya sistem Ekonomi Kapitalis hanya akan didukung oleh orang
kaya dan pengusaha saja. Keduanya hanya sistem yang masing-masing akan
didukung dan dipercaya oleh sebagian orang yang pernah mempelajari,
memahami, dan meyakini kebenarannya, baik orang kaya / pengusaha ataupun
bukan / orang miskin.
Sampai sejauh ini tulisan tentang Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi
Kerakyatan umumnya terlalu menekankan pada filosofi dasar yang cukup
berat bagi konsumsi orang awam yang tidak pernah mempelajari ilmu
ekonomi secara khusus. Tulisan ini ingin menyajikan pengertian tentang
Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Kerakyatan dari salah satu sudut pandang,
agar mudah dipahami oleh orang awam, dan tidak terlalu menekankan pada
landasan teori. Tentu saja tulisan ini jauh dari sempurna dan terlalu
jauh dari kesan ilmiah. Kritik dan saran dari siapapun akan diterima
dengan senang hati.
EKONOMI KAPITALIS / LIBERAL.
Menurut pemikiran para pendukung sistem Ekonomi Kapitalis,
singkatnya, pemerintah harus seminim mungkin memungut pajak dari
perusahaan. Upah buruh juga jangan terlalu besar, secukupnya saja untuk
menutupi biaya hidupnya. Perusahaan juga harus diberi berbagai fasilitas
kemudahan agar dapat berkembang pesat dalam waktu singkat. Dengan
demikian, perusahaan akan mendapat untung yang besar, yang setelah
terkumpul sampai jumlah tertentu, dapat digunakan untuk membangun
perusahaan baru. Singkatnya laba tsb untuk kesinambungan investasi.
Kalau banyak perusahaan baru, berarti akan terbuka lapangan kerja
baru, untuk menampung peningkatan angkatan kerja sehubungan dengan
pertumbuhan penduduk yang setiap tahun meningkat terus. Dengan demikian
tingkat pengangguran akan dapat ditekan. Kalau tingkat pengangguran
rendah, berarti rakyat sejahtera dan negara makmur. Selanjutnya upah
buruh akan dinaikkan secara bertahap sampai ke tingkat yang wajar,
setelah pengangguran di negara tsb teratasi.
Oleh karena itu, kebijakan ekonomi negara yang menganut Sistem
Ekonomi Kapitalis, mengutamakan investasi besar2an, baik yang berasal
dari modal domestik maupun modal asing. Konsekwensinya, sektor perbankan
juga dalam menunjang kebijakan Ekonomi Kapitalis tsb, cenderung
memberikan kredit kepada perusahan2 besar saja dan kurang berminat pada
kredit mini dan mikro. Alasan yang dikemukakan umumnya standard: sulit
berurusan dengan masyarakat lapisan bawah yang relatif berpendidikan
rendah, dan profit dari kredit mini & mikro juga relatif kecil,
bahkan tidak bisa menutup biaya operasional bank tsb.
Ekonomi Liberal adalah pengembangan lebih lanjut dari sistem Ekonomi
Kapitalis, yang intinya menuntut pemerintah agar tidak turut campur
dalam urusan business, alasannya akan mematikan kreatifitas yang
dikembangkan oleh dunia usaha, sehingga akan menghambat efisiensi usaha
dan pencapaian laba serta pembukaan lapangan kerja baru. Neo Liberal
adalah bentuk paling akhir dari sistem Ekonomi Liberal, sehubungan
dengan gagasan globalisasi yang berkembang pesat pada dekade terakhir
ini.
Ciri yang paling mudah dikenali dari sistem Ekonomi Kapitalis /
Liberal ini adalah adanya Konglomerasi, yang menguasi business tertentu
dari hulu sampai hilir, serta memiliki bank untuk mengelola dan
membiayai keuangan perusahaannya. Dengan demikian, jika beberapa
konglomerat yang ada di Indonesia misalnya bergabung dalam suatu
konsorsium, maka mereka akan dapat mengusai perekonomian Indonesia (akan
tercipta Oligopoly). Oleh karena itu dapat dimaklumi jika beberapa
tahun yll berkembang isu, bahwa 70% perekonomian Indonesia dikuasai
orang Tionghoa, karena mayoritas dari konglomerat tsb adalah orang
Tionghoa, walaupun sebenarnya tidak seperti itu.
Di atas kertas teori ini tidak salah, tapi sama sekali tidak
menyentuh rasa keadilan terhadap sesama manusia. Apalagi di dalam negara
yang hukumnya masih sangat lemah. Dalam hal ini buruh hanya dianggap
sebagai alat produksi, dan fungsinya disamakan dengan mesin2. Amat
sangat tidak adil jika buruh yang bekerja berat sepanjang hari dan
sepanjang tahun, hanya mendapat upah minimum kurang dari Rp. 1 juta /
bulan, yang untuk membiayai kebutuhan fisik minimum (KFM – sekedar bisa
makan, bukan hidup layak) pun tidak cukup. Sedangkan pemilik perusahaan
menggaji dirinya sendiri ratusan juta rupiah / bulan. Disini bukan
berarti buruh harus digaji sama dengan majikan, tapi setidak tidaknya
buruh berhak mendapatkan upah yang wajar, yang cukup untuk membiayai
kehidupan yang layak, termasuk untuk masa depan anak2nya.
Selain itu, juga amat sangat diragukan kejujuran perusahaan atas
penggunaan laba yang diperolehnya. Apakah benar pemilik hanya akan
mengambil secukupnya untuk kebutuhan hidup yang layak, dan sisanya akan
ditanam kembali untuk ekspansi perusahaan? Dalam pengertian tsb
terkandung asumsi bahwa market perusahaan tsb selalu terbuka lebar.
Dengan demikian, perusahaan yang tidak menanamkan kembali labanya akan
berdalih bahwa market sudah jenuh, sudah tidak mampu lagi menyerap hasil
produksi perusahaan tsb. Perusahaan juga dengan mudah menghindari
kenaikan upah buruh, dengan alasan biaya produksi yang naik terus
sehingga laba bertambah tipis.
Kebijakan ekonomi seperti ini pernah diterapkan di Indonesia sejak
tahun 1966 sejalan dengan dimulainya rejim Orde Baru. Apakah hasilnya
bagi rakyat? Selama 32 tahun rakyat dinina bobokan dengan jargon2
pembangunan yang sebenarnya tidak menyentuh kehidupan rakyat jelata yang
paling mendasar yaitu sandang – pangan – papan, dan tidak sebanding
dengan utang yang ditinggalkan penguasa yang harus ditanggung oleh
rakyat. Memang ada sekelompok masyarakat yang diuntungkan, yaitu mereka
yang bisa dekat dengan kekuasaaan dan bisa memanfaatkan berbagai macam
fasilitas yang tersedia. Tapi jumlahnya hanya sedikit dan tidak merata.
EKONOMI SOSIALIS / KERAKYATAN
Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah istilah lain dan versi lain dari
sistem Ekonomi Sosialis, yang ingin diterapkan dan disesuaikan dengan
kondisi Indonesia. Dalam sistem Ekonomi Sosialis ini yang ingin
ditekankan adalah peningkatan kehidupan masyarakat lapisan bawah,
meliputi buruh, tani, nelayan, dan UKM. Peningkatan ini dapat dilakukan
melalui berbagai macam cara, antara lain menciptakan lapangan kerja
baru, membuka lahan pertanian / perkebunan baru, menggali potensi yang
ada, atau menaikkan upah buruh sampai cukup untuk kehidupan yang layak,
termasuk untuk pendidikan dan masa depan anak2nya.
Jika buruh mendapat upah beberapa kali liipat upah minimum yang
sekarang diterima, maka otomatis daya belinya akan meningkat, dan dapat
dipastikan tambahan ini akan dibelanjakan seluruhnya di dalam negeri
untuk membeli barang2 buatan lokal, sehingga tidak mempengaruhi devisa
negara. Sebagian dari upah tsb, melalui berbagai saluran distribusi
akhirnya akan kembali ke produsen dalam bentuk hasil penjualan dan
profit. Naiknya daya beli masyarakat ini akan mendorong kenaikan market
di dalam negeri, dan akhirnya akan memberi kesempatan kepada produsen
untuk mengembangkan usahanya.
Tambahan laba yang diterima produsen ini akan mengcover berkurangnya
laba yang dapat diterima produsen karena naiknya upah buruh. Agar semua
dapat berjalan lancar, harus ada aturan yang jelas untuk membatasi
import barang2 yang sudah dapat dibuat di dalam negeri. Tentu saja,
kenaikan upah buruh ini harus dilakukan secara bertahap, misalnya dalam
waktu sekian tahun, UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) harus naik menjadi
sekian kali lipat. Dengan naiknya upah buruh, maka harga jual
pertanian, khususnya beras dapat dinaikkan pula, sehingga petani dan
juga nelayan akan mendapatkan peningkatan penghasilan yang layak untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, baik melalui kenaikan harga maupun melalui
naiknya volume kebutuhan pangan yang lebih bergizi.
Selama ini, kenaikan harga jual pertanian akan menimbulkan masalah
bagi kaum urban kota, sebaliknya harga jual pertanian yang rendah akan
menimbulkan masalah bagi petani. Naiknya upah buruh dan naiknya
pendapatan petani, otomatis akan meningkatkan daya beli dan mendorong
meningkatnya market dari UKM, sehingga UKM juga akan berkembang. Dalam
pengertian UKM disini utamanya adalah home industri, yang konsumen
utamanya adalah kalangan marginal. Dengan berkembangnya daya beli
masyarakat marginal melalui kenaikan pendapatan ini, baik yang diterima
buruh, petani, maupun UKM, akhirnya akan kembali ke produsen sejalan
dengan meningkatnya market barang dan jasa di dalam negeri yang
diciptakan produsen.
Dalam sistem Ekonomi Kerakyatan ini yang diutamakan adalah rakyat
kecil, yaitu buruh, tani, nelayan, dan UKM. Dalam sistem ini, khususnya
dalam bidang produksi, yang ingin didorong maju adalah UKM yang tersebar
di seluruh Indonesia. Pertimbangannya, kenaikan sekian prosen produksi
oleh UKM hasilnya dapat dinikmati oleh sejumlah besar pengusaha kecil,
sedangkan kenaikan yang sama oleh konglomerat hasilnya hanya dapat
dinikmati oleh segelintir orang kaya saja. Dengan demikian akan
terbentuk pemerataan pendapatan yang lebih baik, dan gap antara yang
kaya dan yang miskin akan lebih menyempit. Cara yang relatif sama dengan
proses yang berbeda akan diterapkan pula terhadap buruh, tani, dan
nelayan.
Agar penyebaran distribusi pendapatan ini dapat terlakasana dengan
baik, maka perlu ada aturan2 main yang jelas, yang melarang pemilik
modal raksasa (konglomerat) merampas hajat hidup UKM. Misalnya
konglomerasi, yaitu suatu jaringan business yang menguasai proses
produksi dari hulu sampai hilir, termasuk juga penguasaan bahan baku dan
keuangannya, dilarang oleh UU demi hak masyarakat luas untuk
mendapatkan penghasilan yang layak. Perlu dicatat disini, bahwa yang
dilarang adalah konglomerasi, bukan melarang orang menjadi kaya atau
menjadi pengusaha yang memiliki perusahaan besar. Dalam sistem Ekonomi
Sosialis /Kerakyatan ini, sama sekali tidak ada larangan orang menjadi
kaya, asalkan kekayaannya tsb diperoleh secara halal dan tidak melanggar
UU.
Seseorang yang kaya raya yang memiliki uang berlimpah-limpah, boleh
saja memiliki saham di banyak perusahaan, tetapi tidak boleh menjadi
penguasa di lebih dari 3 perusahaan misalnya. Di perusahaan ke 1 – 3 dia
boleh menjadi pengurus (Direksi atau Komisaris atau sejenisnya), tapi
di perusahaan ke 4 dia hanya boleh menjadi pemegang saham minoritas yang
tidak mempunyai hak suara significant. Tujuannya agar dia tidak bisa
mengatur perusahaan ke 4 dst mengikuti kebutuhan perusahaan ke 1 – 3.
Kalau dia masih mempunyai hak suara significant di perusahaan ke 4 dst,
berarti dia masih mempunyai jaringan konglomerasi dan bisa memegang
monopoli terselubung. Aturan seperti ini harus dijalankan dengan ketat
dengan sanksi hukum yang berat, untuk menghindarkan perusahaan Ali-Baba
seperti masa lalu. Aturan ini relatif harus lebih ketat terhadap
investor asing.
Sistem Ekonomi Sosialis / Kerakyatan seperti ini, dalam versi yang
sedikit berbeda pernah diterapkan pada jaman Orde Lama di bawah Bung
Karno, yang kita kenal sebagai Ekonomi Terpimpin. Sayangnya dengan
berbagai hambatan ekonomi dan politis saat itu, sistem ini gagal
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sistem ini juga dipakai di
Singapore, Taiwan, Perancis, dsb, di mana ciri yang menonjol dari sistem
ini antara lain tidak ada perusahaan raksasa, yang dapat dilihat dari
jumlah pegawainya. Perusahaan dengan 100 pegawai sudah dianggap besar.
Di Perancis misalnya, keluarga Al Fayed sah-sah saja memiliki mal super
raksasa “La Fayette” yang luasnya beberapa kali lapangan sepak bola dan
hotel “Ritz” yang super mewah (tolong dikoreksi kalau salah).
PENUTUP.
Tulisan ini bukan untuk mendukung atau menjatuhkan salah satu Capres /
Cawapres, tetapi sekedar memberikan informasi yang objektif bagi
pembaca, agar kesalah pahaman yang tidak pada tempatnya dapat
dihindarkan. Mudah2an, setelah membaca tulisan ini tidak ada lagi yang
beranggapan bahwa :
1. Seorang yang kaya raya adalah konglomerat yang tidak sepantasnya berbicara tentang Ekonomi Kerakyatan.
2. Seorang pengusaha pomp bensin adalah seorang kapitalis, yang tidak mungkin menerapkan Ekonomi Kerakyatan.
3. Orang kaya yang akan menerapkan Ekonomi Kerakyatan harus mau membagi-bagikan kekayaannya kepada rakyat.
4. Kalau ingin berbicara tentang Ekonomi Kerakyatan, jangan menguasai sendiri business yang menguntungkan, harus mau berbagi kepada rakyat.
5. Dan kesalah pahaman lain yang bersumber dari pemahaman yang keliru tentang Ekonomi Sosialis / Kerakyatan maupun Ekonomi Kapitalis / Liberal.
Apakah pasangan Capres / Cawapres yang konon akan mengusung Ekonomi
Kerakyatan akan menerapkannya dengan benar, itu urusan Capres / Cawapres
ybs. Atau sebaliknya, pasangan Capres / Cawapres lain yang secara
tersirat mengusung sistem Ekonomi Kapitalis / Liberal tetapi berjanji
akan menerapkan Ekonomi Kerakyatan, sampai di mana kebenarannya adalah
tanggung jawab Capres / Cawapres ybs. Kita sebagai rakyat hanya punya
hak untuk memilih yang mana sekiranya yang menurut kita bisa dipercaya
kalau kelak terpilih menjadi Presiden / Wapres, agar kehidupan kita
“Esok Hari” lebih baik dari “Hari Ini”.
Sekian,
Hidup Indonesia.
Hidup Indonesia.
JT
SUMBER : http://jakarta45.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar
Sampaikan Komentar Anda Untuk Mengoreksi Artikel Yang di Baca, Sebagai Masukan Bagi Kami Untuk Meningkatkan Kualitas Tulisan.